Saturday, 4 April 2015

Ketika Sang Putra Fajar Kembali ke Ende

REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA -- Kebijakan Presiden Jokowi yang cukup liberal dengan
menyerahkan mekanisme harga bahan bakar minyak (BBM) ke pasar dan
menaikkan harga barang-barang rumah tangga dikeluhkan masyarakat.
Apalagi, kenaikan harga barang hampir terjadi berbarengan dalam tempo
singkat.

Contohnya, harga sembako, elpiji, tarif listrik, kereta
api, angkutan umum, semua naik dalam waktu singkat. Dampaknya, sejak
Jokowi naik tahta, masyarakat belum mendapat manfaat apapun, meskipun
sang presiden berjanji akan membangun infrastruktur secara
besar-besaran.

Menyikapi keadaan itu, salah satu pendukung Jokowi
semasa kampanye Pilpres 2014, merasa kecewa. Orang itu adalah Fahd
Pahdepie yang kini menempuh pendidikan di Monash University. Dia pun
akhirnya menulis surat terbuka untuk Jokowi melalui akun Facebook
miliknya. Berikut tulisannya:

SURAT UNTUK PRESIDEN JOKOWI

Pak Presiden Jokowi yang baik hati,

Tentang
kenaikan harga bahan bakar minyak, kami mungkin tidak pandai berhitung:
Bagaimana sebenarnya harga minyak ditentukan? Bagaimana neraca
perekonomian nasional diperlakukan? Atau pertimbangan apa yang dipakai
sehingga satu-satunya pilihan untuk ‘menyelamatkan seluruh bangsa dan
negara’ harus sama dan sebangun dengan menaikkan harga-harga?

Bagi
kami, angka-angka selalu terdengar sebagai ilusi belaka, Pak. Setiap
hari kami mendengar satuan ‘miliar’ atau ‘triliun’ disebutkan dalam
berita-berita, tanpa pernah benar-benar melihatnya dalam bentuk yang
sesungguhnya—apalagi menghitungnya satu per satu.

Hidup kami
sederhana, disambung lembaran-lembaran uang recehan. Ilmu hitung kami
kelas rendahan: Berapa untuk makan sehari-hari, uang jajan anak sekolah,
biaya transportasi, biaya listrik bulanan, dan kadang-kadang cicilan
motor, dispenser atau DVD player.

Tak perlu kalkulator. Bila
sedang beruntung, kami bisa punya sisa uang untuk jalan-jalan di akhir
pekan. Bila sedang sulit, kami tidak kemana-mana, Pak: Kami mencari
kebahagiaan gratisan di televisi—meski kadang-kadang justru dibuat
pusing dengan berita-berita tentang pejabat-pejabat negara yang korupsi.

Tahukah
Bapak, di televisi, juga koran-koran dan majalah: Kami seperti tak
punya presiden! Kami seperti tak punya pemimpin! Negara ini terlanjur
dikuasai para bandit dan bajingan tengik yang hanya tahu tentang
memperkaya diri sendiri! Ah, mungkinkah Bapak tak sempat menonton TV
atau membaca koran sehingga Bapak tak mengetahuinya? Tapi, kemana saja
sih Bapak selama ini? Ngapain saja di istana? Mana janji-jani Bapak yang
dulu terdengar indah dan gegap gempita?

Kami, rakyat biasa,
sesekali butuh kabar gembira, Pak. Kadang-kadang kami berkhayal bahwa
jangan-jangan kami ini sedang hidup dalam sinetron? Mungkinkah yang
duduk di istana negara itu bukan Bapak—tapi kembaran Bapak yang menyamar
atau tertukar? Kemana Bapak yang dulu penuh semangat untuk
menyejahterakan rakyat? Lupakah Bapak pada janji-janji Bapak? Mungkinkah
kepala Bapak terbentur batu dan lantas hilang ingatan?

Pak Presiden yang baik,

Harga
BBM terlanjur naik… Sempat juga turun, tetapi kemudian naik lagi, dan
naik lagi. Konon ia mengikuti mekanisme pasar, bergantung pada
naik-turun harga minyak dunia. Tapi, Pak, di pasar-pasar becek yang kami
tahu, ketika harga sudah terlanjur naik karena BBM naik, ia tak kenal
kata turun lagi! Apakah Bapak juga mau menyerahkan nasib kami kepada
mekanisme pasar dunia? Alamak!

Lihatlah pejabat-pejabat anak buah
Bapak yang hanya bisa meminta kami bersabar dan mengerti! Dengan gagah
dan seolah baik hati konon mereka akan memberi kami kompensasi: Membuat
kami mengantre untuk mendapatkan uang bantuan agar kami tak merasa
kesulitan.

Tapi, pikiran kami sederhana saja, Pak, benarkah Bapak
suka melihat kami mengantre—panjang-mengular dari Sabang sampai
Merauke? Kami tidak suka itu, Pak. Kami tak suka terlihat miskin,
apalagi menjadi miskin. Kalau memang Bapak punya uang untuk dibagikan
kepada kami, pakailah uang itu, kami rela meminjamkannya untuk
menyelamatkan ‘perekonomian nasional’ yang konon tak kuasa menahan
gertakan dollar Amerika dan gejolak harga minyak dunia.

Pak,
sudahlah, tak perlu mengeluarkan kartu apa-apa lagi… Dompet kami sudah
cukup tebal dengan kartu-kartu, tetapi sekaligus hanya memuat
lembar-lembar rupiah yang makin hari makin tipis. Sudahlah tak perlu
menyalahkan siapa-siapa, berdirilah untuk membela kepentingan dan nasib
hidup kami.

Ada apa dengan Bapak ini? Tak perlu takut
siapa-siapa, Pak! Bila Bapak disandra mafia, pejabat-pejabat yang
bangsat, atau pengusaha-pengusaha yang menghisap rakyat, tolong beritahu
kami: Siapa saja mereka? Kami akan bersatu untuk membantu Bapak melawan
dan melenyapkan mereka. Tentu saja, semoga Bapak bukan salah satu
bagian dari mereka!

Pak Presiden yang baik,

Dengarkanlah
kami, berdirilah untuk kami, berbicaralah atas nama kami, belalah kami:
Maka kami akan selalu ada, berdiri, bahkan berlari mengorbankan apa saja
untuk membelamu. Berhentilah berdiri dan berbicara atas nama sejumlah
pihak—membela kepentingan-kepentingan golongan atau partai. Berhentilah
jadi bagian dari mereka yang ingin kami benci sampai mati. Jangan jadi
penakut, Pak Presiden, jangan jadi pengecut!

Buanglah
kalkulatormu, singkirkan tumpukan kertas di hadapanmu, lupakan
bisikan-bisikan penjilat di sekelilingmu! Lalu dengarkanlah suara kami,
tataplah mata kami: Tidak pernah ada satupun pemimpin di atas dunia yang
sanggup bertahan dalam kekuasaannya jika ia terus-menerus menulikan
dirinya dari suara-suara rakyatnya!

Pak Presiden,

Sekali
lagi, tentang kenaikan harga minyak, barangkali kami memang tak pandai
berhitung. Tapi, sungguh, kami tak perlu menghitung apapun untuk
memutuskan mencintai atau membenci sesuatu; Termasuk mencintai atau
membencimu!

-Dari seseorang yang dulu mendukungmu, yang kini merasa kecewa karena Bapak menyia-nyiakan dukungan itu!

No comments:

Post a Comment